Minggu, 16 Oktober 2016

KONSERVASI MANGROVE









KONSERVASI MANGROVE


Oleh :
MARYENTA MANIK
130302027






         










PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016




KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan yang berjudul “Konservasi Mangrove”.  Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan.
Penulis sampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ani Suryanti, S.Pi, M.Si selaku Dosen Konservasi Hayati Perairan yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah tersebut sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah tersebut.
              Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran, guna perbaikan makalah yang akan datang.







Medan, Oktober 2016





                               Penulis



BAB I 

PENDAHULUAN


Latar belakang
            Indonesia memiliki sumberdaya alam yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun keanekaragaman hasilnya. Sumberdaya alam merupakan aset penting suatu negara dalam melaksanakan pembangunan, khususnya pembangunan di sektor ekonomi. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, sumberdaya alam memberikan kontribusi cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai negara pesisir, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam hayati dan nonhayati, sumber daya buatan, serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat (Marhayana, 2011).
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik dengan karakter yang spesifik. Artinya bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat. Ekosistem Wilayah pesisir terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, estuari, lamun yang merupakan pelindung alam dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut. Disamping itu wilayah pesisir juga menyediakan pelbagai jasa lingkungan dan sebagai tempat tinggal manusia, dan untuk sarana transportasi, tempat berlibur atau rekreasi (Dahuri dalam Rudianto, 2014).
Wilayah  pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang  mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga  mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. 
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan  mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air laut. Salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat.  Selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah sepertinya kurangpercaya bahwa rakyat mampu mengelola sumberdaya alam yang ada di lingkungannya (Sallatang dalam Golar, 2002).

Tujuan Makalah
            Tujuan makalah ini adalah :
1.        Untuk mengetahui konservasi Mangrove.
2.        Untuk mengetahui teknik konservasi Mangrove.

Manfaat Makalah
            Manfaat makalah ini adalah sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkannya, serta sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan konservasi hutan mangrove.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1. Definisi Mangrove
Mangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum. 1983). Di Suriname, kata mangro pada mulanya merupakan kata yang umum dipakai untuk jenis Rhizophora mangle (Karsten 1890 dalam Chapman 1976). Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu pohon dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk individu tumbuhan dan mangal untuk komunitasnya. Di lain pihak, Tomlinson (1986) dalam Wightman (1989) menggunakan kata mangrove baik untuk tumbuhan maupun komunitasnya, dan  Davis (1940) dalam Walsh (1974) menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan istilah umum untuk pohon yang hidup di daerah yang berlumpur, basah dan  terletak di perairan pasang surut daerah tropis. Meskipun terdapat perbedaan dalam penggunaan kata, Mepham dan Mepham (1985)dalam Wightman (1989) menyatakan bahwa pada umumnya tidak perlu dikacaukan dalam penggunaan kontekstual dari kata-kata tersebut.
Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia Sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora Sp), lacang (Bruguiera Sp), nyirih (Xylocarpus Sp), nipah (Nypa Sp) dan lain-lain.
Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.  Hutan mangrove disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan surut)/hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika (Saenger,1983).
2. Fungsi dan Manfaat Hutan mangrove
  Hutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropis yang  mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991).  Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa  kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata).  Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya :
Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang 
Pengendali intrusi air laut 
Habitat berbagai jenis fauna 
Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai
   jenis ikan dan udang 
Pembangun lahan melalui proses sedimentasi 
Pengontrol penyakit malaria 
Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air) 
Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain. 
Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi  Dahuri (2004). 
Fungsi ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut :
a.         Dalam ekosistem hutan  mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.
b.        Dengan sistem perakaran yang  kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai  kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.
c.         Sebagai pengendalian banjir, hutan  mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
d.        Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organic.
e.         Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan  jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut menjadi detritus.  Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti :  cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.
f.         Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.
3.    PENYEBAB RUSAKNYA EKOSISTEM MANGROVE
Secara garis besar  ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu :
1.    Faktor manusia
yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan.
2.      Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah, 1994).
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani 1994), antara lain : a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan  harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah. b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena  tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang.   c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove. d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional. Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan  karena pertumbuhan penduduk dan yang dari luar sistem karena reklamasi lahan dan eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda.  Dibeberapa tempat ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem lain. Terdapat ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah  yang mengalami tekanan baik oleh sebab alami maupun oleh perbuatan manusia  (UNDP/UNESCO 1984).  
Menurut Soesanto dan Sudomo (1994) Kerusakan ekosistem mangrove  dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain :
1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove.
2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat
 atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove.
3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan
 lingkungan hidup.
Menurut Sugandhy (1994) beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan hutan mangrove yang berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya adalah :
1. Pemanfaatan Ganda Yang Tidak Terkendali Pemanfaatan ganda antar berbagai sektor dan Penggunaan sumberdaya yang berlebihan telah menyebabkan terjadi pengikisan pantai oleh air laut. Sesuai dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan ombak. Di beberapa daerah kawasan pantai hutan mangrove sudah banyak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh ombak. Di wilayah Teluk Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling berkompetisi, seperti perluasan areal pelabuhan, industri, transportasi laut, permukiman dan kehutanan.  Demikian juga di Bali, khususnya di kawasan hutan mangrove Suwung,  pembangunan landasan udara Ngurah Rai Bali menyebabkan pantai Kuta  terabrasi. Pemanfaatan demikian yang kurang menguntungkan ditinjau dari  aspek keseimbangan lingkungan, karena dapat menyebabkan kerusakan  dan pencemaran lingkungan wilayah pesisir.  Disamping itu, pengelolaan hutan mangrove belum berkembang, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya. Akibatnya banyak terjadi perusakan hutan mangrove  seperti penebangan yang tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya  melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk meregenerasi.
2. Permasalahan Tanah Timbul Akibat Sedimentasi Yang Berkelanjutan
Di daerah muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang terus-menerus terbawa dari daerah hulu sungai.  Permasalahan utama yang muncul adalah tentang status tanah timbul tersebut. Karena lokasinya umumnya berdekatan dengan lahan  kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya langsung menjadi kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk  kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik penguasaan. Contoh : kasus kawasan di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa,  kawasan Sulawesi Selatan dan lain-lain.
3. Konversi Hutan Mangrove,
Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove. Hutan mangrove sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi Selatan bagian barat telah dikonversi menjadi kawasan permukiman, tambak, kawasan industri, pelabuhan, lading garam dan lain-lain. Kebanyakan konversi hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain belum    banyak ditata berdasarkan kemampuan dan peruntukan pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi yang   kurang menguntungkan dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh karena itu pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya rehabilitasinya  harus sesuai dengan potensi dan rencana pemanfaatan yang lainnya  dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomi dan penguasaan teknologi.
4. Permasalahan Sosial Ekonomi
Meningkatkannya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di  wilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali, Sulawesi dan Lampung menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan    antara permintaan kebutuhan hidup, kesempatan dengan persediaan sumber daya alam  pesisir yang ada . Upaya pengembangan pertanian intensif (coastal agriculture), dan kegiatan serta kesempatan yang berorientasi kelautan  masih terbatas dikembangkan. Di pantai utara Jawa, hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak menjadi kawasan pemukiman, perhotelan, tambak dan sawah yang berorientasi kepada ekosistem daratan. Pemanfaatan sumber daya alam wilayah pesisir mestinya tidak hanya terbatas pada hutan mangrove atau  tambak saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui batas, sehingga sulit dapat pulih kembali. Hal ini terjadi di Bali Selatan, pantai utara Jawa Tengah.
5. Permasalahan Kelembagaan dan Pengaturan Hukum Kawasan Pesisir dan Lautan
Sering terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan antara instansi sektoral pusat dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur perizinan untuk kegiatan  pembangunan pesisir dan lautan. Contahnya seperti pembukaan lahan di kawasan pesisir, usaha penggalian pasir laut, reklamasi, penangkapan  ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain. Akibat tersebut menyebabkan terus meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir  dan lautan khususnya kawasan hutan mangrove.
6. Permasalahan Informasi Kawasan Pesisir Keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi yang  berkaitan dengan tipologi ekosisitem pesisir Keanekaragaman hayati,  lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga, sumber daya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum dapat  mendukung penataan ruang kawasan pesisir, pembinaan dalam pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta rehabilitasinya. 












BAB III
UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE


Silvofishery Sebagai Salah Satu Bentuk Pelestarian   Mangrove Berbasis Masyarakat
          Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 60.2/Kpts/DIR/1988 merupakan Pedoman Pelaksanaan  Perhutanan Sosial. Penggarap empang dianggap sebagai mitra sejajar dalam pembangunan hutan atas dasar saling menguntungkan. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pola agroforestry. Agroforestry            merupakan suatu alternatif yang cukup efektif dalam  upaya untuk menyatukan kepentingan antara kehutanan dengan masyarakat  sekitar hutan, khususnya Kelompok Tani Hutan sehingga terjalin hubungan mitra  pembangunan yang harmonis yang saling menguntungkan.  Dalam system agroforestry,     penggunaan lahan pada dasarnya dititikberatkan pada salah satu  usaha tanaman pangan, peternakan atau kehutanan (Setiawan 1991). Jika  tanaman kehutanan dikombinasikan dengan pertambakan ikan atau udang disebut silvofishery. Tujuan kegiatan Perhutanan Sosial di hutan mangrove ini sama halnya  dengan di kawasan hutan produksi, yaitu : untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove. Hal ini dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan teknis dan non teknis.
            Pendekatan teknis yang dilakukan dalam kegiatan Perhutanan Sosial adalah dengan sistem silvofishery (Perum Perhutani,1993). Sistem ini merupakan  salah satu alternatif pemecahan masalah yang cukup efektif dan ekonomis.  Aspek keuntungan yang diperoleh dengan model     silvofishery ini antara lain dapat meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan  dan energi (aspek ekonomi) serta kestabilan iklim mikro dan konservasi tanah (aspek ekologi).Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang dianggap cukup baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pemeliharaan ikan, pihak Perum Perhutani secara tidak langsung menjalin  hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Pola silvofishery yang digunakan adalah pola komplangan  dan empang parit  (Perum Perhutani, 1994; Sumarhani, 1994; Amir, dkk, 1994).  Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani merupakan program pembangunan,  pemeliharaan dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi- fungsi hutan secara optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan  sekaligus perbaikan lingkungan dan kelestariannya yang pelaksanaannya terbatas dikawasan hutan. Berdasarkan pengertian tersebut diharapkan Perhutanan Sosial dapat  memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan tekanan sosial budaya penduduk di sekitar hutan yang berakibat turunnya produktivitas lahan dan fungsihutan maupun kualitas lingkungan biofisik di sekitarnya. 
Pendekatan Non Teknis
Dalam melaksanakan pendekatan non teknis ini perlu dibentuk suatu organisasi penggarap kawasan hutan ialah “Kelompok Tani Hutan” (KTH), dimana  para petani penggarap membangun hutan mangrove bersama-sama dengan kelompoknya dan membentuk program kerja yang akan di laksanakannya. Untuk  kelancaran pelaksanaan tugas, perlu adanya pembentukan organisasi dan  tanggung jawab masing-masing seksi dari kelompok tani hutan. KTH ini perlu pula dilengkapi dengan koperasi sebagai wadah penyediaan sarana produksi pertanian atau sarana pengolahan hasil. Untuk mempermudah pembinaan petani empang parit, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) dan diberikan  penyuluhan secara intensif. Tugas dari Kelompok Tani Hutan (KTH) antara lain :
1.                   Melaksanakan tanaman hutan disetiap lokasi garapan masing-masing.
2.                   Ikut menerbitkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove
3.                   Gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk memperlancar pasang surut air laut dan aliran sungai
4.                   Secara rutin mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan yang dihadapi, diantaranya cara budidaya ikan, udang, kepiting dikawasan hutan mangrove.
5.                   Disamping itu melakukan usaha koperasi simpan pinjam, pelayanan
saprodi, pemasaran hasil ikan dan pengembangan pengolahan ikan.
Produksi ikan dari silvofishery seluruhnya menjadi hak penggarap
Pendekatan Buttom Up Dalam Rangka Pelestarian Hutan Mangrove
Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya  rencana itu  senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung  tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan  istilah populer dengan pendekatan top-down. Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja  pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.
Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir.  Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang  dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh  masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa  ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.
Usaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini  biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari  Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia  bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran    serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).   
Menurut Sudarmadji (2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang  telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat  sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka  bersama.  Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum  dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam  jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem, selain  itu “pemerintah atau pemilik  modal” tidak terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan  pemulihan tersebut, dan pada  masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian  pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan  adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses  pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).













BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
            Kesimpulan dari praktikum ini adalah :
1.    Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya.
2.    Salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat. 
3.    Di beberapa daerah kawasan pantai hutan mangrove sudah banyak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh ombak. Di wilayah Teluk Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling berkompetisi, seperti perluasan areal pelabuhan, industri, transportasi laut, permukiman dan kehutanan.
4.    Pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi mangrove dengan teknik Silvofishery Sebagai Salah Satu Bentuk Pelestarian Mangrove Berbasis Masyarakat, Pendekatan Buttom Up Dalam Rangka Pelestarian Hutan Mangrove, Dalam melaksanakan pendekatan non teknis ini perlu dibentuk suatu organisasi penggarap kawasan hutan ialah “Kelompok Tani Hutan” (KTH), dimana  para petani penggarap membangun hutan mangrove bersama-sama dengan kelompoknya dan membentuk program kerja yang akan di laksanakannya.
Saran
            Untuk saran pengelolaan konservasi mangrove ini sebaiknya ahli dalam teknik upaya pelestarian hutan mangrove harus ikut berperan serta ke lapangan untuk membimbing serta mengajari masyarakat dalam pengelolaan lingkungan mangrove.






DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta. 
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R.  2002.  Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan  Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara Harapan  dan Kenyataa. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 
Kusmana, C.  2005.  Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai  Pasca Tsunami di NAD dan Nias.  Makalah dalam Lokakarya Hutan mangrove Pasca sunami, Medan, April 2005
Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. The Economics of Real Estate. 3rd ed.
Printice-Hall, Inc. NJ.
Departemen Kehutanan. 2001. Eksekutif. Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi
Kehutanan. Jakarta.
Dixon, J.A., K.W. Easter. 1986. Economic Analysis at the Watershed Level. In. K.W.
Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Watershed Resources  Management.
An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in
Water Policy and Mngt, No. 10. Westview Press and Lond.
Fletcher, J.R., R.G. Gibb. 1992. Land Resource Survey Kandbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. Alih Bahasa. 
Paimin, E. Savitri, S. Hartati. Pedoman Survai Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Konservasi Tanah di Indonesia. Cet. Ke-3. Project Report No 2. Sci. Report No.11. MOF-DENGANRLR and DSIR. Hudson, N. 1971.  Soil Conservation. BT Basford Ltd.
Shaxson, F. 1999. New Consept and Approach to Land Management in the Tropics with Emphasis on Steeplands. FAO Soil Bul. 75. FAOUN. Rome.









1 komentar:

  1. MGM Grand Hotel & Casino - KTM Hub
    Find 밀양 출장마사지 the best prices for MGM Grand Hotel & Casino in Las 밀양 출장마사지 Vegas. View customer reviews, videos, photos and more. 아산 출장마사지 Or book online for your next 광양 출장샵 stay at 강릉 출장마사지 MGM Grand

    BalasHapus